Berita Timika

Timotius Samin : Ukiran Kamoro Tidak Boleh Hilang

Timotius Samin (FOTO: GREN/TIMEX)

TIMIKAEXPRESS.id – Warga Timika, terutama kaum muda yang sering berkunjung ke Kuala Kencana (area operasi dataran rendah PT Freeport Indonesia) tentu melihat sejumlah patung Kamoro di beberapa titik dalam kota modern yang diresmikan oleh Presiden Soeharto pada Tahun 1995 lalu.

Selain di Kuala Kencana, patung-patung bernilai historis warisan budaya dari suku Kamoro itu juga dapat dilihat di pintu masuk dan bagian dalam Rimba Papua Hotel (RPH).

Walaupun demikian, banyak orang di Kabupaten Mimika tidak tahu siapa sosok seniman yang mengukir patung-patung yang menjadikan suku Kamoro makin dikenal di seluruh Nusantara hingga ke luar negeri.

Sosok tersebut adalah Timotius Samin, ia merupakan Ketua Umum Suku Kamoro.

Timotius Samin kepada Timika eXpress di Kangguru Hotel pada Kamis (31/10) mengatakan bahwa ukiran-ukiran Suku Kamoro harus dikembangkan dan dilestarikan dengan baik kedepannya.

Timotius Samin pun mengungkapkan bahwa walaupun tidak diwarisi peralatan oleh Almarhum ayahnya, tetapi secara otodidak darah seni yang mengalir di tubuhnya, akhirnya dirinya mulai menekuni seni mengukir saat dirinya menjabat sebagai kepala Kampung Kiyura pada Tahun 1991 di masa pemerintahan Kabupaten Fak-fak mempromosikan budaya di Waena, Jayapura.

“Itu di masa Gubernur Barnabas Suebu dan Mimika masih bagian dari Kabupaten Fak-fak, yaitu pada masa Bupati Matondang. Saya menjabat sebagai kepala Kampung Kiyura dan ikut dalam tim perwakilan dari Timika ke Waena,” ujarnya.

Usai mengikuti promosi di Waena, pada Tahun 1992 dirinya mulai mengukir patung Mbitoro, dan hasilnya dia tunjukkan kepada pengukir tua suku Kamoro, yaitu Yakob Yarpae dan Yohanes Waniau.

 Kedua pengukir tua itu menilai hasil ukirannya sangat  bagus dan tergolong sebagai ukiran sakral.

“Jadi, dua pelukis tua itu mengaku bahwa ukiran saya itu sangat luar biasa dan saya pun diprediksi menjadi pengukir yang akan dikenal ditengah masyarakat. Mereka bilang ukiran itu sakral,” ucapnya.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia, Wardiman Djojonegoro dalam melakukan kunjungan kerja ke Timika dan melakukan penandatanganan kesepakatan  bersama PT Freeport Indonesia (PTFI) pada tahun 1993 agar ikut membina warga Kamoro dalam upaya mempromosikan budaya. Sejak itulah, mulai muncul seniman-seniman Kamoro yang dibina oleh PTFI.

Kemudian diutus mengikuti studi banding di Bali mewakili Kabupaten Fakfak.

“Kalau saya tidak salah ingat, kesepakatan pembinaan selama 6 tahun. Setelah itu, saya mulai jadi kaki tangan Dr. Kal Muller untuk order papan-papan dari Kaokonao untuk kemudian dipajang di Hotel Rimba Papua pada bagian luar ataupun dibagian dalam serta di restorannya. Selain itu, saya juga menjadi pembina bagi pengukir lainnya di Kaokonao, Timika Pantai dan kampung-kampung pesisir Mimika lainnya,” ungkapnya.

Kemudian pada Tahun 1994, dirinya meninggalkan jabatan sebagai Kepala Kampung Kiyura dan fokus mengangkat budaya Kamoro. Sehingga pada Tahun 1995, dirinya bersama seniman-seniman binaannya mulai intens melakukan pameran ke luar Timika, seperti ke Bali dan Jakarta Selatan.

Bukan hanya ke beberapa kota di Indonesia, tetapi dengan difasilitasi oleh PTFI, pada Tahun 2023 dirinya didampingi istri dan beberapa seniman Kamoro lainnya terbang ke Belanda untuk menampilkan ukiran-ukiran khas Kamoro di museum Leiden (Museum yang menampilkan warisan budaya dari berbagai negara).

Sebelumnya, pada tahun 2007 lalu, dirinya juga bergabung bersama tim khusus seniman Indonesia mengikuti festival di Bulgaria, Venezuela dan Turki.

Selain itu, pada Tahun 2010 dirinya mengikuti pameran di Jerman bersama seniman dari beberapa daerah lainnya se-Indonesia, seperti Bali, Jepara, Kalimantan dan yang lainnya.

Kegiatan di setiap negara itu, dirinya selalu membawa kayu (Besi) utuh atau mentah untuk mengukir di hadapan peserta dari negara-negara lain, dan hal itu menjadi penilaian khusus, sehingga akhirnya diberi penghargaan oleh Duta Besar Indonesia yang berada di setiap negara yang dikunjunginya.

“Saya dengan seniman-seniman di Kaokonao sama-sama belajar bagaimana caranya mempromosikan budaya Kamoro, sehingga selain promosi di Tembagapura dan Kuala Kencana, kami juga mulai mempromosikan ke luar Timika hingga ke luar negeri. Pas ke Belanda, kami didampingi Dr. Kal Muller yang mewakili PTFI. Kemudian di setiap negara ada Duta besar Indonesia yang beli dan dikirim kembali, sehingga pemerintah Indonesia di masa Presiden Bambang Yudhoyono juga memberikan penghargaan,” tuturnya.

Kemudian pada Tahun 2014, dirinya mengikuti promosi budaya di Amsterdam Belanda, tepatnya di pusat perkotaan peninggalan Ratu Wilhelmina.

Saat itu juga dihadiri seniman-seniman lainnya dari berbagai provinsi di Indonesia.

“Pulang dari Amsterdam, saya  diundang oleh Letnan Jenderal TNI Dr. H. Doni Monardo ke markas mereka di Sijantung, Riau untuk mengikuti HUT Kopasus. Saya ke sana juga bersama 45 penari yang saya bina dari Kaokonao,” ungkapnya.

Pada tahun 2018, dirinya bersama Yayasan Maramowe Weaiku Kamorowe ikut pameran ke Jenewa, Swiss.

Kemudian pada tahun 2020, dirinya memenuhi undangan Istri Tito Karnavian, Ny. Tri Suswati Karnavian untuk mengikuti pameran di Sidney, Australia.

Adapun beberapa ukiran hasil karya tangannya diceritakan yaitu pada tahun 1995 dirinya mengisi ukiran di Kuala Kencana sebelum diresmikan oleh Presiden Soeharto.

Patung Yuwamapaku (sebutan bagi suku Kamoro yang mendiami wilayah pesisir bagian Barat Tengah) dan Wemawe (sebutan bagi suku Kamoro yang mendiami bagian Timur pesisir) ada di Alun-alun Kuala Kencana.

Selain itu, ada juga di check point 32 atau gerbang masuk Kuala Kencana. Dua patung di gerbang masuk Kuala Kencana tersebut merupakan patung Wemawe yang sakral sebagai leluhur suku Kamoro.

“Patung yang di Alun-alun merupakan patung sakral sebagai manusia pertama yang hidup di alam gaib. Kemudian di check point 32 juga sama memiliki nilai sakral dan itu hasil pahatan kayu utuh tanpa dibelah, tapi untuk di dalam kota Kuala Kencana sudah ada beberapa yang sudah lapuk dan akan diganti,” tuturnya.

Sementara di RPH dipasang pada tahun 1997 yang diletakan di sisi kanan dan kiri pintu masuk, ukiran perahu panjang dilengkapi dayungnya ada di bagian dalam hotel serta beberapa ukiran lainnya di bagian dalam restoran.

Ukiran-ukiran itu juga memiliki nilai cerita untuk mengingatkan bahwa orang Kamoro memulai hidup dengan sejarah.

“Jadi, begitu RPH selesai dibangun, langsung kita pasang ukiran-ukiran yang ada sampai saat ini. Itu semua hasil karya seniman yang saya bina dari Kaokonao, Timika Pantai, Kekwa dan wilayah pesisir lainnya,” jelasnya.

Selain itu, ukiran patung juga dipasang di Polres Mimika dan Kodim 1710/Timika. Dirinya terakhir mengukir beberapa ornamen yang ada di terminal baru Bandara Mozes Kilangin di Jalan C. Heatubun.

Timotius Samin mengatakan bahwa menjadi seniman merupakan profesi yang patut dibanggakan, karena sebagai pewaris leluhur dalam menjaga adat dan budaya.

“Saya senang dan bangga terus mengukir, karena itu warisan budaya. Jadi seniman tidak semata untuk mendapatkan uang, tetapi yang paling penting ialah menjaga kelestarian budaya. Oleh sebab itu, lestarikan terus budaya Kamoro agar jangan puna,” pungkasnya. (via)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Articles

Back to top button