Tanah Wakia Bagian dari Mimika
Timotius Samin (FOTO: GREN/TIMEX)
TIMIKAEXPRESS.id – Kepala Suku Besar suku Kamoro, Timotius Samin mengungkapkan bahwa Wakia merupakan bagian dari Kabupaten Mimika dan merupakan tanah adat orang Kamoro.
Budayawan yang telah memperkenalkan budaya Kamoro hingga ke luar negeri tersebut juga menuturkan bahwa sejak dulu orang Kamoro telah ditempatkan Allah lengkap dengan rumah adatnya (Kapirikame), sehingga harus dihargai dan dihormati.
Kepala Suku Besar suku Kamoro, Timotius Samin kepada Timika eXpress di Hotel Kangguru pada Kamis (31/10) mengatakan bahwa Wakia merupakan tanah milik orang Kamoro yang diwariskan oleh nenek moyang, termasuk di Umuka dan Kapiraya.
“Kita sebagai umat beragama, harus mengakui di mana Allah telah menempatkan manusia. Wakia itu Kamoro punya atau Mimika Wee dan masuk dalam wilayah Mimika, bukan dalam wilayah kabupaten lain,” tegasnya.
Timotius menyampaikan bahwa masuknya warga dari kabupaten lain dan terjadi saling klaim di wilayah Wakia, dikarenakan adanya potensi kandungan alam, sehingga diperebutkan.
“Sebetulnya tidak apa-apa kalau masuk untuk mencari nafkah di tanah Wakia, tapi jangan klaim tanahnya, karena itu orang Kamoro yang punya,” ujarnya.
Timotius pun menuturkan bahwa salah satu Kepala Suku Besar di Dogiay, yaitu Edoway merupakan anak adat, yang mengetahui sejarah batas wilayah antar Dogiyai dan Mimika.
“Saya dulu sekolah guru di Dogiyai, dan bertemu Kepala Suku bernama Edoway. Sejarawan itupun mengaku bahwa Wakia itu dalam wilayah Mimika. Jadi yang sekarang ini masuk klaim itu merupakan anak-anak yang tidak tahu apa-apa,” tuturnya.
Walaupun demikian, imotius mengimbau agar seluruh orang Kamoro tetap bersabar dan jangan menjual tanahnya demi kepentingan pribadi.
Karena tanah Wakia dan kekayaan alamnya adalah pemberian Allah.
“Tidak apa-apa orang dari luar cari nafkah, tapi sebagai anak Kamoro, jangan sengaja menjual tanah untuk kepentingan diri sendiri,” pesanya.
Atas persoalan Wakia, Timotius pun meminta adanya perhatian khusus dari pemerintah Provinsi, sehingga tidak terjadi konflik secara terus menerus disana.
“Pemerintah Provinsi Papua harus bantu Pemkab Mimika untuk perhatikan masalah Wakia, serta libatkan adat masing-masing daerah yang saling klaim itu,” tegasnya.
Sementara itu, ditempat yang sama, Matea Mameyao selaku Tokoh Perempuan Kamoro juga mengatakan bahwa berdasarkan buku Mimika dalam angka, Wakia masuk dalam wilayah adat suku Kamoro dan menjadi bagian dari kabupaten Mimika dan diputuskan oleh Otonomi Daerah (Otda).
Tetapi, seiring waktu Biro Hukum Pemkab Mimika tidak memperjuangkan hal itu, serta tidak mengumumkannya kepada masyarakat, sehingga sebagian masyarakat tidak mengetahui hal tersebut.
“Pada buku Mimika dalam angka sudah termasuk Wakia, begitu juga dalam wilayah adat, Wakia masuk dalam adat Kamoro,” ujarnya.
Matea Mameyao juga menyebutkan bahwa yang menjadi kendala yaitu hingga saat ini tidak ada orang Kamoro yang duduk dalam badan eksekutif dan legislatif, sehingga tidak ada yang memperjuangkan hak-hak orang Kamoro.
Orang Kamoro tidak punya tameng dalam pemerintahan dan DPRD yang bisa melihat atau menjaga hak wilayah sekaligus mengikatnya dalam peraturan daerah (Perda).
“Itulah yang menjadi kendala. Adapun legislatif dan eksekutif, tapi selama ini terkesan diam begitu saja,” tuturnya.
Atas personal persoalan tesebut, Matea Mameyao saat ini ikut mendaftar sebagai calon Anggota Dewan Perwakilan Provinsi jalur Khusus (DPRPK).
Kelak akan memperjuangkan terbentuknya Perda pemetaan dan tapal batas wilayah adat khusus suku Kamoro.
Karena penyelesaian tapal batas tentang hak adat tidak bisa diselesaikan di tingkat terbawah, tapi harus ada dorongan kuat dari Provinsi.
“Atas nama leluhur dan Tuhan, persoalan Wakia ini nantinya akan jadi bahan saya ketika lolos menjadi anggota DPRPK Papua Tengah,” pungkasnya. (via)