LAYANAN KESEHATAN-Tampak Nancy Natalia Raweyai, Anggota DPRD Provinsi Papua Tengah, ikut memberikan pelayanan kesehatan kepada anak-anak di Kiura, dalam kegietan Reses Tahap I Tahun 2025, di Kampung Kiura, Kamis (20/3/2025) (FOTO: LINDA BUBUN LANGI/TIMEX)

TIMIKAEXPRESS.id – Puluhan anak usia sekolah di Distrik Iwaka, khususnya yang berdomisili di 10 kampung termasuk Kampung Kiyura, tak tersentuh pelayanan kesehatan dan pendidikan. Ironisnya anggaran pendidikan di Kabupaten Mimika cukup fantastis, mencapai Rp 1 triliun setiap tahunnya.

Hal ini terungkap dalam kunjungan Anggota DPRD Provinsi Papua Tengah, Nancy Natalia Raweyai, saat reses tahap I Tahun 2025, pada Kamis (20/3/2025) di wilayah tersebut.

Berdasarkan data yang dihimpun media ini di lapangan, puluhan anak ini dilaporkan lahir secara alami di kampung tersebut tanpa bantuan medis, tanpa imunisasi hingga usia sekolah.

Hal ini dikarenakan minimnya infrastruktur kesehatan, padahal warga 10 kampung yang berada di sepanjang Jalan Trans Nabire ini sudah bermukim puluhan tahun,  dan tercatat sebagai warga Mimika.

Pasalnya, sebelum adanya sebuah klinik yang dibangun oleh perusaaan kelapa sawit, yakni PT PAL yang biasanya membantu warga, namun beberapa tahun terakhir tidak lagi beroperasi dikarenakan perusahaan tersebut sudah diganti.

Tak hanya itu, anak-anak di 10 kampung ini baru dua hari terakhir mulai sekolah di sekolah gratis yang dibangun oleh GBI Papua Centrum (Pace) dengan dibimbing oleh dua guru, yang merupakan utusan dari pihak gereja.

Selama ini, anak-anak di wilayah tersebut tak pernah mengenyam pendidikan, dikarenakan sekolah yang dibangun oleh pemerintah di area perkebunan kelapa sawit tidak lagi beroperasi dikarenakan ketiadaan tenaga pengajar.

Menurut informasi dari warga yang ditemui, guru di sekolah tersebut tidak pernah berada di tempat tugas.

Guru biasanya datang saat anak-anak hendak melaksanakan ujian.

“Guru itu ada kalau anak-anak mau ujian, nanti guru yang isi ujian sendiri. anak-anak tidak pernah belajar,” ungkap salah seorang warga.

Berangkat dari keprihatinan ini, Nancy pun memanfaatkan momen reses dengan memberikan pelayanan kesehatan kepada anak-anak setempat dengan menggandeng tenaga medis dari Apotek Cendrawasih, untuk memberikan pelayanan kepada anak-anak dan warga setempat, berupa screening kesehatan, pemberian vitamin, obat cacing  serta layanan lainnya.

Tak sungkan-sungkan, Nancy juga turut serta melayani anak-anak dengan pemberian salap pada luka dan membagikan makanan.

Menurut Nancy, dirinya turun langsung di tengah-tengah masyarakat ini, memang sudah merupakan hal yang sangat penting untuk diperhatikan, dengan melihat kondisi yang dialami dan kebutuhan masyarakat.

Dikatakan, ini bukan kali pertama dirinya bertemu dengan masyarakat setempat.

Sebelumnya dirinya sudah bertemu dengan masyarakat Kiura pada momen reses Desember 2024 lalu, dan mendapati masalah krusial yang dihadapi warga.

Kunjungan ini sekaligus melihat kembali kemajuan atau peningkatan yang dialami warga setelah kunjungan sekaligus membangun kesadaran masyarakat untuk bagaimana membangun kebersamaan.

Selama ini, masyarakat cenderung tertutup terhadap pendatang, dengan hadirnya sekolah gratis yang diinisiasi oleh Gereja diharapkan menggugah kesadaran masyarakat khususnya OAP setempat, bahwa kekhususan yang selama ini dituntut meskipun melalui non OAP pada akhirnya untuk OAP itu sendiri, seperti transfer ilmu dari guru, atau pelayanan kesehatan.

Terkait dengan pelayanan kesehatan dan pendidikan yang tidak dirasakan oleh masyarakat, kata Nancy, ini kembali kepada pemangku kebijakan dalam hal ini Dinas Kesehatan dan Dinas Pendidikan.

Oleh karena itu, hal ini akan dikomunikasikan lebih lanjut dengan dinas teknis, untuk bagaiman melihat hal ini, khususnya di lingkup Pemda Mimika, mengingat anggaran yang dialokasikan, baik APBD maupun Otsus  cukup besar.

“Tentunya ini kembali pada kebijakan fiskal oleh pemerintah. Bagaimana mengalokasikan anggaran dan bagaiaman anggaran itu bisa tepat sasaran,” katanya.

Lanjutnya, sangat disayangkan, karena jarak tempuh dari kota ke Kiura itu, hanya satu jam, namun pelayanan kesehatan dan pendidikan yang nota bene adalah pelayanan dasar sama sekali tidak dirasakan oleh mayarakat.

Untuk itu kedepan, dirinya berharap agar kebijakan anggaran bisa berpihak kepada mayarakat setempat.

Hal lain yang perlu diperhatikan adalah transportasi. Ini menjadi persoalan krusial lainnya, karena jarak antar kampung di Jalan Trans Nabire cukup jauh, sehingga untuk terhubung dari satu kampung ke kampung lainnya masyarakat harus menumpang di truk-truk perusahaan yang memuat kayu.

Termasuk anak-anak yang kini mulai bersekolah juga kesulitan menjangkau tempat belajar dikarenakan tidak adanya transportasi.

Kendala lain adalah kaitan dengan tapal batas wilayah yang hingga tak kunjung tuntas.

“Soal tapal batas ini sebelumnya sudah ada koordinasi, tetapi ini memang membutuhkan proses, sehingga kedepan diharapakn bisa secepatnya selesai,” tutup Nancy.

Untuk diketahui, 52 anak saat ini sudah tercatat sebagai pelajar di sekolah gratis yang dibangun oleh GBI Papua Centrum (Pace). 52 dua anak ini hanya dibagi dalam dua kategori yakni anak dengan usia 5 sampai 6 tahun  dan kelas lainya usia diatas 6 tahun.

Dua kelas ini belajar tidak berdasarkan kurikulum, dikarenakan semua baru mulai dari nol, yakni mengenal huruf dan angka.

Anak-anak ini dibimbing oleh dua tenaga pendidikan yang didatangkan khusus dari Batam oleh piahak gereja.

Dalam dua hari terakhir, menurut Pendeta Boni Patoh, Gembala GBI Pace sekaligus penanggungjawab SD Pace, anak-anak sangat antusias, termasuk orang tua yang mana ada yang dengan sukarela mengantarkan anak-anak mereka untuk bersekolah.(linda)