FOTO BERSAMA – Litinus Niwilingame Ketua Lembaga Masyarakat Kampung Tsinga, Waa/Banti dan Tsinga ( LMA TSINGWAROP) dan Elfinus Omaleng -Sekretaris II Forum Pemilik Hak Sulung (FPHS TSINGWAROP) pada Jumat (26/7). (FOTO: ELISA/TIMEX)

TIMIKAEXPRESS.id – Sering menjadi perdebatan akibat pembatasan kuota penerimaan murid baru di Sekolah  Asrama Taruna Papua (SATP),  Lembaga Masyarakat Kampung Tsinga, Waa/Banti dan Tsinga ( LMA Tsingwarop) meminta agar YPMAK segera bangun asrama baru.

Hal tersebut lantaran masyarakat dari tiga kampung ini yang terkena dampak langsung  dari aktivitas tambang.

Diketahui sebelumnya, masyarakat sempat melakukan aksi demo di kantor  YPMAK, Jalan Ahmad Yani pada Jumat (19/7) menyampaikan aspirasi terkait anak-anak mereka yang diterlantarkan kerena kuota penampungan asrama terbatas.

Dan kuota penerimaan siswa -siswi sangat terbatas sehingga harapan masyarakat, orang tua, demi pengembangan SDM Papua kedepannya.

Menyikapi hal tersebut Litinus Niwilingame, Ketua Lembaga Masyarakat Kampung Tsinga, Waa/Banti dan Tsinga ( LMA Tsingwarop), saat ditemui Timika eXpress, di salah satu cafe Jalan Budi Utomo Jumat (26/7) mengatakan, mewakili masyarakat adat yang memiliki hak ulayat dan asli Mimika Amugeme dan Kamoro berharap kepada pihak YPMAK dan manajemen PT Freeport Indonesia agar dapat menyikapi hal ini sehingga dapat dievaluasi dengan baik.

“Kita berharap ada solusi terbaik untuk pendidikan, agar anak-anak ini jangan diterlantarkan, dalam hal ini solusinya yang paling tepat adalah perlu adanya penambahan asrama,” ucapnya.

Menurutnya, jika asrama SATP di SP4 sudah penuh mungkin akan ada lagi asrama baru yang dibangun untuk anak-anak asli ini agar permasalahan ini jangan terus terjadi.

“Kita tau setiap hari angka kelahiran meningkat, sehingga penambahan kapasitas kami rasa perlu. Itu merupakan harapan kami, sebagai masyarakat asli Mimika,” jelasnya.

Sementara Elfinus Omaleng, Sekretaris II Forum Pemilik Hak Sulung (FPHS Tsingwarop) mengatakan, dirinya berharap kejadian begini tidak terjadi terus dan ini bisa menjadi perhatian penting oleh PT Freeport Indonesia dengan YPMAK.

“Kami meminta kepada YPMAK dan PT Freeport harus menambahkan satu fasilitas asrama, jangan hanya di SP 4. Pendidikan dengan berpola asrama harus ada juga dengan mitra gereja katolik maupun Kingmi dan PT Freeport Indonesia pasti bisa bertanggungjawab untuk mendirikan satu asrama besar sehingga anak-anak ini dapat bersekolah. Dan tidak terjadi masalah seperti ini terus menerus,” ungkapnya.

Lanjutnya, banyak orang tua dari anak-anak ini yang tinggal di kampung Arwanop, Hoeya, Jila, Alama, Bela, dimana tempat mereka itu tidak memiliki fasilitas pendidikan yang memadai sehingga harapan orang tua ini yang menjadi kerinduan anak-anak mendapatkan kualitas pendidikan yang memadai di kota.

“Sebagai salah satu tokoh pemilik hak sulung meminta agar untuk hal ini PT Freeport Indonesia yaitu Mimd ID agar bisa mencari solusi untuk apa yang disampaikan sesuai komitmennya terhadap Amdal sehingga untuk pendidikan anak-anak tidak perlu terus didemo,” ujarnya.

Menurutnya, dengan membangun asrama baru, kuota bertambah setiap tahun, tidak dibatasi, agar di tahun depan tidak terjadi keributan seperti hari ini.

“Jadi PT Freeport dan Main ID saya mau berkolaborasi agar tahun ini juga membangun asrama baru supaya tahun depan penerimaan siswa -siswi terlebih khusus masyarakat Waa, Banti Arwanop dan lima daskam yang terkena dampak, Amugeme yang ada di Hoeya,Jila, Alama,Bela dan juga masyarakat di luar dari lima daskam dari Potowai sampai Nakae mereka harus mempunyai hak untuk mendapatkan pendidikan yang layak guna menjawab hak asasi manusia dan pendidikan yang baik di tanah kita ini,” pungkasnya. (kay)