TIDAK LAYAK – Gregorius Okoare, Ketua Lemasa didampingi NUr Ifa Karupukaro dan pengurus lainnya, saat melihat kondisi asrama Salus Populi yang tidak layak, pihaknya menemukan peralatan makan yang hanya dari plastik, dan ruang tidur yang tak layak, dalam Sidak pada Rabu (19/3) (FOTO: LINDA/TIMEX)
TIMIKAEXPRESS.id – Asrama Putra Salus Populi yang terletak di Jalan Ahmad Yani, dihuni oleh sekitar 120 pelajar asal Suku Kamoro.
Asrama ini dibangun sejak berdirinya Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Amungme dan Kamoro (LPMAK) selaku pengelola dana kemitraan PT Freeport Indonesia pada Tahun 1996.
Sayangnya asrama ini jauh dari kata layak, mulai dari fasilitas, hingga kondisi anak-anak yang ada di sana.
Hal ini terungkap setelah Gregorius Okoare, Ketua Lembaga Musyawarah Adat Suku Kamoro (Lemasko) melakukan inspeksi mendadak (Sidak) pada Rabu (19/3/2025), didampingi sejumlah pengurus lainnya dan Tomas Too, Ketua Yayasan Pendidikan Kamoro Bangkit (YPKB) serta Nur Ifa Karupukaro, salah seorang tokoh perempuan Kamoro yang juga mantan pengurusYPMAK.
Gerri (Sapaan Gregorius Okoare), dalam kesempatan itu, melihat langsung kondisi para pelajar yang ada di sana, dan menemukan berbagai kekurangan, mulai dari kasur yang tidak layak, ruangan asrama yang dihuni hingga 30 orang, dimana menurutnya ini sangat sesak dan pengab, belum lagi tidak ada kipas angin bahkan lampu penerangan hanya satu.
Tak hanya itu, Geri juga menemukan peralatan makan anak-anak yang hanya berupa mangkok plastik, untuk minum pun hanya cangkir plastik.
Hal ini menurutnya sangat tidak sesuai dengan implementasi perjanjian kerjasama antara YPMAK dan pihak ketiga yang mengelola asarama.
“Jadi kemana uang kami selama ini,” tukas Geri.
Seperti diketahui, sejak asrama ini berdiri pengelolaannya telah dipercayakan kepada pihak Keuskupan Timika, sayangnya Geri dan tim, dalam kunjungan tersebut tidak menemui pihak pengelola di tempat.
“Saya lihat ini konsepnya tidak seperti asarama, tetapi lebih mirip dengan kos-kosan atau tempat transit. Ini jauh dari kata layak,” ungkapnya lagi.
Ia mengaku sangat prihatin dengan kondisi penghuni asarama yang tidak mendapat perhatian.
Seharusnya pihak pengelola memperlakukan anak-anak Kamoro ini layaknya manusia.
“Kita harus memanusiakan manusia,” tegasnya.
Sebagai anak-anak penerus bangsa dan anak-anak asli Mimika, mereka seharusnya mendapatkan perhatian, dituntun dengan baik sehingga mampu bersaiang.
Caranya adalah dengan memperhatikan lebih dulu kesehatan mereka.
“Ini saya lihat asrama seperti ini, saya sangat kecewa, makan minum mereka, peralatan mandi dan kebersihannya juga tidak layak. Saya lihat kamar mandi saja tidak layak,” katanya lagi.
Oleh karena itu, ia meminta pertanggungjawaban dari pihak pengelola, bahkan lanjutnya, jika pihak pengelola tidak mampu maka pengelolaannya akan diambil alih oleh YPKB.
Dengan kapasitas YPKB, menurut dia akan lebih mampu dalam mengelola dan memperhatikan anak-anak.
Dijelaskan, anggaran yang diberikan kepada anak-anak setiap bulan mencapai Rp 3 juta per anak, dengan memperhitungkan kebutuhan layak, termasuk pakaian dan buku-buku.
Namun kenyataannya, anak-anak tidak mendapatkan uang buku dan uang seragam, bahkan transportasi harian hanya diberikan Rp 6.000.
Padahal anak-anak asrama ini bersekolah di tempat yang jauh. Sebagain di Petrosea, dan bahkan ada yang di Mapurujaya.
Dengan uang transport yang hanya Rp 6000 sangat tidak mungkin bagi mereka untuk mencapai sekolah. Alahasil, beberapa diantara mereka ke sekolah hanya berjalan kaki.
“Zaman sekarang ini apakah ada uang ojek yang hanya Rp 6.000? Tolong ini dilihat kembali,” tandasnya.
Geri menambahkan, terkait dengan kondisi ratusan anak-anak ini, ia mengharapkan perhatian dari PT Freeport Indonesia melalui YPMAK, dan pemerintah serta semua mitra, agar memperhatian hal ini dan melakukan evaluasi kembali.
Dibandingkan dengan asrama Taruna di SATP, ada kesenjangan yang sangat jauh, karena di SATP anggaran untuk setiap anak mencapai Rp 8 juta per bulan.
Sehingga ia mengharpakn perhatian dari pemerintah dan Freeport.
Ia bahkan berharap agar alokasi beasiswa yang dianggaran oleh pemerintah yang mencapai Rp18 miliar, sebagian dialokasikan untuk anak-anak Kamoro yang bersekolah di Timika, terutama yang tinggal di asrama, yang jauh dari orang tua mereka.
“Jangan pemerintah bikin program yang tumpang tindih, sudah dibiyai YPMAK, nanti pemerintah biayai lagi. Lebih baik kaji dengan baik beasiswa ini agar merata bagi semua anak-anak Mimika,” katanya lagi.
Sementara itu, Dikson Bonai (DAK Lemasko) yang hadir dalam kesempatan itu menambahkan, melihat generasi muda Kamoro di asrama tersebut, jauh dari kesan sehat.
Kumuh, sampah berserakan, dari tempat beristirahat sampai kamar mandi. Ini perlu dicarakan ulang karna ini tidak memanusiakan manusia.
Dirinya menilai asrama ini terkesan hanya dijadikan objek untuk mendapatkan uang.
“Saya rasa ini hanya dijadikan lahan bisnis dan anak-anak yang jadi korban,” tukas dia.
Sedangkan Yohanis Mamiri (DPA Lemasko) mengatakan, Asrama Putra Salus Populi dihuni anak-anak Kamoro.
Dan kehidupan anak-anak di sini jauh dari layak.
Fasilitas tidur yang ada saat ini masih beberapa tahun lalu, sedangkan anggaranya terus jalan.
Untuk itu ia berharap kedepan, asrama ini bisa dikelola dengan baik, agar setara dengan asrama Taruna Papua.
Thomas Too yang hadir dalam kesempatan yang sama juga menuturkan, tata kelola asrama ini perlu menjadi perhatian, karena kondisinya yang sangat miris.
“Uang ada tetapi tata kelolanya buruk. Kami dari YPKB, kami akan urus sendiri dan memperbaiki kondisi asaram,” tegasnya.
Ia juga berharap pemerintah bisa lihat kondisi yang dialami oleh anak Kamoro, jangan hanya kasih tanggung jawab ke Freeport tetapi Pemda juga harus perhatikan.
“Kita sudah tau kondisi dan karakter orang Kamoro jadi jangan setengah-setengah bantunya, tetapi bangun seutuhnya, tolong agar setiap tahun ada alokasi anggaran pendidikan untuk anak-anak Kamoro,” katanya lagi.
Berkaitan dengan asrama, mereka yang tinggal itu masih kategori anak-anak. Yang dipertanyakan adalah pihak pengelola, kalau bisa memanusiakan manusia pasti semua berjalan baik.
Lanjutnya, Kamoro adalah identitas Mimika, sayangnya tidak diperhatikan dan tidak diberikan kesempatan.
Namun pada prinsipnya anak-anak Kamoro juga memiliki potensi dan mampu bersaing.
Sementara itu, Ifa Karupukaro menambahkan, selama ini dirinya sudah berulang kali mendorong agar anggaran untuk Asrama Salus Populi ditingkatkan. Namun tidak pernah terealisasi.
Katanya, ada ketimpangan jumlah dana dengan SATP, sehingga terkesan anak-anak Kamoro di Asaraa Salus Populi terkesan dianaktirikan.
“Dari dulu tidak serius tangani dengan baik. tapi saya rasa kalau Rp3 juta itu harusnya cukup untuk anak-anak disini diluar dari maintenance. Soal evaluasi kita sudah lakuka, hanya saja pengelolanya yang perlu kita rubah,” tutupnya.
Hingga berita ini diturunkan, belum ada konfirmasi dari pihak pengelola.(linda)
Tinggalkan Balasan