‘Di antara bingkai-bingkai sunyi itu, Mimika berbicara tentang masa lalu, dan harapan untuk masa depan’

SUASANA Diana Mall Timika tampak berbeda pada Jumat (10/10) siang itu.

Di Lantai 2 pusat belanja ternama dan terbesar di Mimika itu berdiri stand frame dengan deretan pigura foto hitam putih dan berwarna terpajang rapi, menyambut setiap langkah pengunjung yang datang.

Bukan sekadar pameran biasa, Mimika Photo Exhibition 2025 hadir sebagai ruang waktu yang merekam jejak panjang perjalanan Kabupaten Mimika sejak awal berdiri hingga kini, di usia ke-29 tahun.

Di tengah keramaian, Dr. Leonardus Tumuka, Ketua Pengurus Yayasan Pemberdayaan Masyarakat Amungme dan Kamoro (YPMAK), berdiri khusyuk di depan salah satu foto.

Wajahnya memancarkan emosi yang sulit dijelaskan,campuran antara bangga, haru, dan nostalgia.

“Ada foto kegiatan rekonsiliasi Mimika Wee waktu itu, saya ketua panitianya,” kenangnya, saat diwawancarai usai menyusuri galeri. “Itu bagian dari upaya kami membangkitkan semangat masyarakat asli Amungme dan Kamoro untuk maju dan membangun daerahnya sendiri.”

Bagi Leo, begitu ia akrab disapa, pameran ini bukan sekadar pertunjukan karya visual.

Ini adalah pengingat tentang sejarah, tentang perjuangan, dan tentang identitas.

Sebuah inisiatif yang menurutnya patut diapresiasi karena berhasil menyentuh sisi terdalam masyarakat Mimika.

“Terima kasih, karena melalui pameran ini, kita diingatkan kembali akan sejarah Mimika. Ini sangat bagus dan penting,” ujarnya tulus.

Dari Sejarah ke Harapan

Tema “Merekam Jejak Mimika” yang diusung dalam pameran foto terasa kuat.

Melalui lensa Pewarta Foto Indonesia (PFI) Kabupaten Mimika, pengunjung diajak menyusuri potret-potret pembangunan, momen penting, hingga wajah-wajah masyarakat lokal yang menjadi saksi sejarah.

Bagi Leo, inisiatif ini seharusnya tidak berhenti di sini.

Ia melihat peluang besar untuk menjadikan dokumentasi visual sebagai warisan berkelanjutan—terutama bagi generasi muda Mimika.

“Harapan saya, suatu saat Kabupaten Mimika punya museum foto, agar anak-anak muda bisa melihat dan belajar tentang perjalanan Mimika dari dulu sampai sekarang.”

Di tengah gempuran informasi digital dan cepatnya perubahan zaman, Leo menilai pentingnya ruang kontemplatif yang bisa menghubungkan generasi kini dengan akar sejarahnya.

Museum, baginya, bukan hanya tempat menyimpan benda mati, tapi ruang hidup bagi ingatan kolektif daerah.

Membangun dengan Kebersamaan

Tak hanya bicara sejarah, Leo juga menyoroti semangat kebersamaan yang harus terus dijaga.

Ia mengajak masyarakat asli, khususnya Amungme dan Kamoro untuk percaya diri dan aktif mengambil peran dalam pembangunan.

“Kita harus berani bersaing dengan siapa saja, tanpa ragu dan tanpa malu,” pesannya.

Sebagai tokoh yang lama berkecimpung dalam pemberdayaan masyarakat lokal, Leo tahu betul bahwa pembangunan tidak hanya soal infrastruktur, tapi juga keberanian untuk tampil dan mengambil ruang, terutama bagi masyarakat adat.

Apresiasi untuk PFI Mimika

Menutup pernyataannya, Leo menyampaikan terima kasih kepada Pewarta Foto Indonesia (PFI) Mimika, yang telah menginisiasi dan menyelenggarakan pameran ini.

Menurutnya, karya-karya yang ditampilkan bukan hanya menyampaikan pesan visual, tapi juga membangkitkan kesadaran sejarah yang sering terlupakan.

“Sekali lagi, terima kasih banyak untuk teman-teman pewarta foto Mimika yang telah menghadirkan karya indah sekaligus mengingatkan kita pada sejarah berharga Mimika,” ujarnya.

Di luar ruang pameran, sekelompok pelajar tampak berfoto di depan banner bertuliskan “Merekam Jejak Mimika”. Beberapa dari mereka saling bertanya tentang foto-foto lama yang belum pernah mereka lihat.

Mungkin di situlah kekuatan pameran ini bekerja, bukan hanya mengenang, tapi juga menyalakan rasa ingin tahu.

Dalam diamnya foto, ada suara yang bicara. Di balik tiap bingkai, ada cerita yang menunggu untuk dibaca ulang.

Mimika Photo Exhibition 2025 telah menunjukkan bahwa sejarah bisa hadir dalam bentuk yang indah dan membangkitkan.

Dan barangkali, seperti harapan Leo Tumuka, suatu hari nanti akan ada sebuah museum, tempat di mana Mimika bisa terus bercerita, dari satu generasi ke generasi berikutnya.(maurits sadipun)