TIMIKAEXPRESS.id – Di tengah terik matahari dan angin yang menggoyang lembut dedaunan kelapa di Kelurahan Wania, sebuah titik awal baru sedang ditanam. Bukan hanya secara harfiah, tapi juga secara harapan. Sekelompok warga Kamoro hari itu sepakat: pisang adalah masa depan mereka.

Di Mimika, pisang bukan hanya komoditas. Ia bisa menjadi simbol ketahanan pangan, ekonomi lokal, bahkan budaya.

Di lahan seluas satu hektare di Wania, harapan itu sedang ditanam.

Mereka tahu, tidak mudah. Tapi dengan kebersamaan, dukungan Yayasan Pemberdayaan Masyarakat Amungme dan Kamoro (YPMAK) selaku pengelola dana kemitraan PT Freeport Indonesia (PTFI), dan sistem kerja yang lebih tertata, mereka percaya: dari batang-batang pisang itu, kelak akan tumbuh bukan hanya buah, tapi juga kehidupan yang lebih layak.

Pada Jumat (26/9), di sebuah pertemuan sederhana namun penuh makna, Pokja Aima Poramo resmi dibentuk. Kelompok kerja ini lahir dari kolaborasi antara masyarakat setempat dan YPMAK, melalui Divisi Perencanaan Program Sosial Ekonomi.

Bagi warga Wania, Pokja ini bukan sekadar forum atau struktur. Ia adalah wadah bersama untuk bangkit dan mandiri dari hasil bumi mereka sendiri.

“Kami sepakat tanam pisang. Bukan hanya karena mudah ditanam, tapi karena itu yang kami punya, itu yang kami bisa,” ujar Fidelis Ukapoka, Ketua Pokja Aima Poramo, dengan mata yang memancarkan semangat.

Penanaman pisang di Wania bukanlah hal baru. Beberapa warga telah mencoba menanamnya untuk konsumsi harian. Tapi kali ini berbeda. Dengan terbentuknya Pokja dan dukungan langsung dari YPMAK, proses budidaya pisang akan menjadi program terencana dengan dukungan dana, pengawasan, hingga evaluasi.

Julius Tsenawatme, perwakilan dari YPMAK, menjelaskan bahwa Aima Poramo adalah Pokja kedua yang dibentuk sepanjang tahun 2025, setelah Jalur 3, SP 1.

“Setelah Pokja dibentuk dan programnya ditentukan, kami akan segera kucurkan dana untuk mendukung penanaman pisang di lahan satu hektare yang sudah disiapkan warga,” jelas Julius.

Tak hanya itu, sebuah tim Monitoring dan Evaluasi (Monev) juga akan diturunkan secara berkala. Bagi YPMAK, pemberdayaan bukan hanya soal memberi, tapi juga memastikan keberlanjutan dan akuntabilitas.

Bagi Hendrikus Mauri, Sekretaris Pokja, hari itu adalah jawaban dari sebuah harapan panjang. Ia dan beberapa warga sebelumnya telah melayangkan proposal ke YPMAK, meminta dukungan untuk mengembangkan pertanian pisang di kampung mereka.

“Hari ini terjawab sudah. YPMAK hadir di tengah-tengah kami. Ini bukan hanya soal pisang, ini soal kehidupan kami yang ingin lebih baik,” ujarnya haru.

Delapan Bulan, Lima Unsur, Satu Tujuan

Pokja Aima Poramo akan bekerja selama delapan bulan dengan struktur yang melibatkan lima unsur masyarakat: aparat kampung, tokoh adat, tokoh agama, perempuan, dan pemuda. Semuanya duduk bersama, satu meja, satu suara.

Nama “Aima Poramo”, yang dalam bahasa Kamoro memiliki makna khusus tentang persatuan dan harapan, dipilih sebagai simbol tekad kolektif untuk menghadapi tantangan hidup dengan cara yang bermartabat, yaitu melalui kerja, bukan keluhan. (*/maurits sadipun)