TIMIKAEXPRESS.id – Hari ini, Mimika genap berusia 29 tahun. Bukan usia yang panjang dalam hitungan pemerintahan, tapi cukup untuk menorehkan banyak cerita-tentang tanah, tentang manusia, dan tentang mimpi-mimpi yang tumbuh di antara rawa, sungai, dan gunung.
Mimika bukan sekadar kabupaten. Ia adalah denyut hidup di selatan Papua, tempat lebih dari 300 ribu jiwa tinggal, dan anak-anak yang tumbuh melihat pesawat mendarat di Bandara Mozes Kilangin, suara mesin kapal di Pelabuhan Poumako, dan kadang, hujan yang tak kunjung berhenti membasahi atap rumah mereka.
Mimika adalah rumah bagi dua wajah alam: dataran rendah yang luas, berlumpur, penuh rawa dan sungai tempat Suku Kamoro dan Sempan bermukim—mereka yang tangannya piawai mengukir kisah di kayu; serta dataran tinggi yang menembus awan, tempat Suku Amungme dan Damal tinggal—menjaga tanah dan adat di balik kabut Pegunungan Jayawijaya.
Dulu, sebelum jalan dibuka, sebelum layar sentuh dan sinyal masuk, kampung-kampung seperti Kipia, Maparpe, dan Yaraya saling terhubung lewat kano. Jika tidak bisa barter sagu, bisa jadi harus menunjukkan kekuatan. Mereka hidup dengan logika hutan dan laut—dan juga dengan kearifan yang tak pernah diajarkan di sekolah.
Ada satu pantai yang disebut Minaki Tiri—pantai senapan. Di sanalah, cerita tentang kekuatan, perlawanan, dan pertemuan antar suku terjadi. Naowa, Raja Kipia, pernah memimpin serangan ke sana. Bukan sekadar kisah pertempuran, tapi cerita tentang bagaimana manusia bertahan dan menentukan nasibnya sendiri.
Tepat pada 8 Oktober 1996, semua itu mulai berubah secara resmi. Mimika berdiri sebagai Kabupaten Administratif—lepas dari Fakfak, karena jarak dan kebutuhan masyarakat tak lagi bisa dijembatani dari jauh. Titus Oktovianus Poterayauw ditunjuk sebagai Bupati pertama. Ini bukan sekadar pemekaran wilayah. Ini tentang pengakuan bahwa masyarakat Mimika berhak mendapatkan pelayanan yang layak, dan suara mereka perlu tempat untuk didengar.
Empat tahun kemudian, pada 18 Maret 2000, Mimika berubah status menjadi Kabupaten Definitif. Kini, Mimika telah tumbuh menjadi 18 distrik yang membentang dari pantai ke gunung, dari Mimika Baru hingga Amar, dari Tembagapura hingga Iwaka.
Dan di balik pertumbuhan itu, Mimika menyimpan satu gelar yang tak semua orang tahu: tempat terbasah di dunia.
Di Mile 50, di dataran tinggi Tembagapura, hujan turun dengan setia.
Rata-rata curah hujan mencapai lebih dari 12.000 mm per tahun, dan pernah menyentuh angka 15.457 mm pada tahun 1999. Di sana, hujan bukan cuma cuaca, ia adalah bagian dari ritme hidup, dari basahnya tanah hingga dinginnya udara yang menyentuh ≤23°C.
Namun meski sering hujan, semangat Mimika tidak pernah redup dalam dekapan semangat ‘Eme Neme Yauware’ – Bersatu, Bersaudara – Membangun’, dan tagline ‘Mimika Rumah Kita’.
Tambang emas mungkin jadi wajah yang dikenal dunia. Tapi bukan itu satu-satunya emas Mimika. Emas yang sebenarnya ada pada manusia-manusianya—yang sabar menganyam sejarah, yang kuat bertahan dalam perubahan, dan yang kini berjalan menuju masa depan tanpa melupakan jejak nenek moyangnya.
Karena Mimika bukan dibangun dalam semalam. Ia dibangun oleh generasi yang rela mendayung jauh demi sagu, oleh pemuda-pemudi yang kini sekolah tinggi agar bisa kembali dan membangun kampung, dan oleh para tetua yang masih menanam kata-kata bijak di ladang-ladang cerita.
Hari ini Mimika berulang tahun. Tapi lebih dari itu, Mimika merayakan siapa dirinya.
Bukan hanya kabupaten di peta. Tapi jiwa yang hidup di tengah Papua.
Selamat ulang tahun ke-29, Kabupaten Mimika.
Tanahmu basah oleh hujan, tapi hatimu hangat oleh sejarah. (*/red)
Tinggalkan Balasan