Ziarah ke Makam Monsinyur Uskup Jhon Philip Saklil Gaiyabi, Pr

TIMIKAEXPRESS.ID

Sebuah perjalanan spiritual menghantar Ketua Tim Peduli Alam dan Manusia (TPAM), Musa Boma Mapiha melakukan ziarah ke tempat peristirahatan terakhir Monsinyur Jhon Philip Saklil Gaiyabi, Pr di Keuskupan Timika, Jalan Cenderawasih, Timika pada Jumat (4/10/2024).

Bagi Musa Boma kerapa ia disapa, perjalanan spiritualitas ini, bukan sekedar ziarah, melainkan sebuah refleksi akan pesan religi, tapi juga sosio politik yang pernah disampaikan dan diserukan oleh Yang Mulia Uskup Saklil.

Dimana pesan-pesan moral tersebut masih relevan hingga kini.

Di makam Uskup Saklil yang diliputi suasana hening, Musa Boma pun terkenang medio 2016, bahkan masih jelas teringat dalam benaknya.

“Waktu itu, pertengahan April 2016, saya berkesempatan ketemuj dengan Uskup Saklil sewaktu masih hidup. Hari ini (kemarin-Red), saya berdiri dihadapan makamnya, sekaligus merenungkan perjalanan misionaris, kepemiminan serta pesan-pesan moral yang ditinggalkannya (Uskup Saklil-Red).

“Pesan yang menggugah hati dan masih jelas saya ingat, yaitu Uskup Saklil pernah mengingatkan tentang ancaman pemusnahan ras Melanesia, khususnya orang Papua. “Cara-cara pemusnahan ini semakin lancar, maka jaga diri baik-baik untuk semua orang asli Papua, mulai dari Sorong sampai Samarai,” kenang Musa.

Menurut Musa, pesan ini bukan sekadar peringatan, melainkan sebuah ajakan untuk berjuang bersama menjaga kelestarian budaya dan identitas orang Papua.

Dari pesan ini, mendiang Uskup Saklil menyerukan bahwa ancaman terhadap keberadaan Orang Asli Papua (OAP), bukan saja datang dari luar, tetapi juga dari dalam.

Selain itu, almarhum Uskup Saklil pernah menekankan pentingnya menjaga tanah sebagai sumber kehidupan.

“Jangan jual tanah, tapi hiduplah dari hasil olah tanah, karena tanah merupakan mama kita,” ungkapnya lirih.

Menurut Musa kerap ia disapa, pesan ini mengandung makna mendalam yang erat hubungannya antara manusia dan alam, yaitu tanah sebagai hak ulayat.

Tanah bukan sekadar sumber ekonomi, tapi juga simbol kehidupan dan identitas.

Ziarah ke makam Uskup Saklil pun bukan sekedar penghormatan, melainkan sebuah refleksi religius atas pesan-pesan yang diwariskan.

“Pesan-pesan yang relevan dengan kondisi Papua saat ini, di mana ancaman terhadap budaya, identitas, dan kelestarian alam terus mengintai, sebagaimana kasus kerusuhan yang baru saja terjadi dan mendera masyarakat di Kampung Wakia, Distrik Mimika Barat Tengah pada 28 Agustus 2024,” tegasnya.

Lebih lanjut, kata Musa, diantara deretan makam serupa para misionaris, posisi makam mendiang Uskup Saklil berada di depan, ini menjadi simbol perjuangan dan pengabdiannya untuk gereja, dan seluruh masyarakat Papua.

Berpulangnya Uskup Saklil sudah tentu meninggalkan duka mendalam, namun pesan-pesan moral yang ditinggalkannya akan terus dikenang dan menjadi inspirasi bagi generasi penerus untuk menjaga kelestarian budaya, identitas, serta menyelamatkan tanah Papua.

Ziarah makam pun menjadi bukti nyata bahwa pesan-pesan Uskup Saklil semasa hidupnya akan terus menginspirasi dan menggema.

“Uskup Saklil telah pergi, tetapi semangat perjuangan dan pengabdiannya akan terus hidup di dalam hati setiap orang Papua,” serunya.

“Semoga Tuhan memberkati dan menyertai kita semua dalam menjaga warisan budaya, identitas, dan tanah Papua, sebagaimana pesan warisan Uskup Saklil,” demikian Musa. (Maurits Sadipun)